Pages

Kamis, 20 Januari 2011

Bingkisan Istimewa untuk Saudariku Agar Bersegera Meninggalkan Nasyid “Islami”

Jika kita bicara tentang musik, dapat dipastikan bahwa mayoritas penduduk dunia ini menyukainya. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua gemar mendengarkan lagu-lagu nan merdu. Dari artikel yang lalu, kita telah mengetahui keharaman hukum nyanyian dan musik sebagaimana telah disebutkan dalam berbagai hadits yang shahih. Tidak pula diketahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama salaf mengenai hal ini. Tapi, kemudian timbul wacana baru yang dilontarkan oleh orang-orang yang menamai dirinya sebagai seniman muslim tentang nasyid islami. Mereka menganggap nasyid Islami sebagai sarana dakwah dan cara lain dalam bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Betulkah demikian?

Dalil Keharaman Musik

Saudariku, ketahuilah bahwa mendengarkan musik, nyanyian, atau lagu hukumnya adalah haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ…

“Benar-benar akan ada segolongan dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik.” (HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa musik adalah haram menurut syari’at Islam. Hal yang menguatkan keharaman musik dalam hadits tersebut adalah bahwa alat musik disandingkan dengan hal lain yang diharamkan yaitu zina, sutra (diharamkan khusus bagi laki-laki saja), dan khamr.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِى لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu.” (Qs. Luqman: 6)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan jumhur ulama tafsir menafsirkan kata “lahwul hadits” (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian atau lagu. Ibnu Katsir rahimahullah juga menegaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan keadaan orang-orang hina yang enggan mengambil manfaat dari (mendengarkan) Al Qur’an, malah beralih mendengarkan musik dan nyanyian.

Maka sangatlah tepat jika nyanyian disebut sebagai perkataan yang tidak berguna karena di dalamnya terkandung perkataan-perkataan yang tercela ataupun tidak mengandung manfaat, dapat menimbulkan penyakit hati, dan membuat kita lalai dari mengingat Allah.

Mengenal Nasyid

Orang-orang Arab pada zaman dahulu biasanya saling bersahut-sahutan melemparkan sya’ir. Dan sya’ir mereka ini adalah sebuah spontanitas, tidak berirama dan tidak pula dilagukan. Inilah yang disebut nasyid. Nasyid itu meninggikan suara dan nasyid merupakan kebudayaan orang Arab, bukan bagian dari syari’at Islam. Nasyid hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan.

Nasyid tidaklah haram secara mutlak dan tidak juga dibolehkan secara mutlak, tergantung kepada sya’ir-sya’ir yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan musik yang hukumnya haram secara mutlak. Ini karena nasyid bisa saja memiliki hikmah yang dapat dijadikan pembelajaran atau peringatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya di antara sya’ir itu ada hikmah.” (Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 6145, Ibnu Majah no. 3755, Imam Ahmad (III/456, V/125), ad-Daarimi (II/296-297) dan ath-Thayalisi no. 558, dari jalan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu)

Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang sya’ir, maka beliau bersabda,

“Itu adalah perkataan, maka sya’ir yang baik adalah baik, dan sya’ir yang buruk adalah buruk.” (Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, dan takhrijnya telah diluaskan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah no. 447)

Nasyid Pada Zaman Dahulu

Orang-orang pada zaman dulu biasa membakar semangat berperang dengan melantunkan sya’ir-sya’ir. Dan banyak pula orang-orang asing di antara mereka yang hendak berhaji melantunkan sya’ir tentang ka’bah, zam-zam, dan selainnya ketika berada di tengah perjalanan. Abdullah bin Rawahah pun pernah melantunkan sya’ir untuk menyemangati para shahabat yang sedang menggali parit ketika Perang Khandaq. Beliau bersenandung,

“Ya Allah, tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.” Kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya dengan senandung lain, “Kita telah membai’at Muhammad, kita selamanya selalu dalam jihad.” (Rasa’ilut Taujihat Al Islamiyah, I/514–516)

Akan tetapi, para sahabat Nabi tidak melantunkan sya’ir setiap waktu, mereka melakukannya hanya pada waktu-waktu tertentu dan sekedarnya saja, tidak berlebihan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

“Sesungguhnya penuhnya rongga perut salah seorang di antara kalian dengan nanah itu lebih baik baginya daripada penuh dengan sya’ir.” (Riwayat Imam Bukhari no. 6154 dalam “Bab Dibencinya Sya’ir yang Mendominasi Seseorang, Sehingga Menghalanginya Dari Dzikir Kepada Allah”, ‘Ilmu dan al-Qur’an, diriwayatkan dari jalan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)

Maksud dari riwayat di atas adalah kecenderungan hati seseorang kepada sya’ir-sya’ir sehingga menyibukkannya dan memalingkannya dari kesibukan dzikrullah dan mentadabburi al-Qur’an, itulah orang-orang yang dikatakan sebagai orang dengan rongga perut yang penuh dengan sya’ir. (Fat-hul Baari X/564)

Nasyid Pada Zaman Sekarang

Nasyid yang ada pada zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan nyanyian dan musik yang telah jelas keharamannya. Berbeda dengan zaman dahulu, sya’ir-sya’ir mulai dilagukan dan mengikuti kaidah/aturan seni musik, sehingga menjatuhkan pelakunya kepada bentuk tasyabbuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir dan fasik. Ditambah lagi, kelompok nasyid yang belakangan didominasi oleh kaum laki-laki ini menambahkan alat musik sebagai ‘pemanis’ di dalamnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “(Setelah diketahui dari riwayat yang shahih bahwa) bernyanyi, memainkan rebana, dan tepuk tangan adalah perbuatan kaum wanita, maka para ulama Salaf menamakan para laki-laki yang melakukan hal itu dengan banci, dan mereka menamakan penyanyi laki-laki itu dengan banci, dan ini adalah perkataan masyhur dari mereka.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah XI/565-566)

Kelompok-kelompok nasyid pada zaman sekarang yang mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya, mereka ingin menggeser kesukaan para pemuda terhadap lagu-lagu dan musik yang tidak Islami kepada lagu-lagu dan musik yang mereka labelkan “Islami”. Bahkan, acara-acara rohis di sekolah-sekolah dan kampus-kampus pun hampir tidak pernah sepi dari nasyid. Seolah hal ini merupakan pembenaran terhadap nasyid.

Sebagian orang (ironisnya kebanyakan dari mereka adalah para aktivis dakwah) beranggapan bahwa nyanyian/musik yang diharamkan adalah nyanyian yang liriknya tidak islami. Sedangkan untuk “musik islami’ atau “nasyid” maka tidak mengapa, bahkan nasyid dapat membangkitkan semangat dan sebagai sarana ibadah dan dakwah karena lagu-lagu tersebut menggambarkan tentang Islam dan mengajak para pendengarnya kepada keislaman.

Nasyid yang seperti ini adalah kelanjutan dari bid’ah kaum sufi yang menjadikan nyanyian-nyanyian (mereka menamakannya dengan as-sama’) sebagai bentuk ibadah dan keta’atan mereka kepada Allah. Kaum sufi menganggap bahwa sya’ir-sya’ir yang mereka sebut dengan at-taghbiir (sejenis sya’ir yang berisikan anjuran untuk zuhud kepada dunia) adalah bentuk dzikir mereka kepada Allah, sehingga mereka layak untuk dikatakan sebagai al-mughbirah (orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan do’a dan wirid). Ketika mereka melantunkan ‘dzikir’ mereka, mereka menambahkannya dengan kehadiran alat-alat musik yang semakin menambah keharamannya, tetapi mereka menganggap itu sebagai upaya untuk melembutkan hati. Na’udzubillah. Imam Ahmad ketika ditanya tentang at-taghbir, maka beliau menjawab: “(Itu adalah) bid’ah”.

Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan bahwa beribadah dengan sya’ir dan bernasyid sebagai bentuk dzikir, do’a dan wirid adalah bid’ah. Dan ini lebih buruk daripada berbagai jenis pelanggaran dalam berdo’a dan berdzikir. (Tash-hiidud Du’aa hal. 78)

Tentang masalah ini, Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata, “Penyebutan dengan nama ini sama sekali tidak benar. Itu merupakan penamaan baru. Di seluruh kitab para salaf ataupun pernyataan para ulama tidak ada nama nasyid Islami. Yang ada, bahwa orang-orang sufi menciptakan lagu-lagu yang dianggap sebagai agama, atau yang disebut dengan sebutan as-sama’.”



Dari penjelasan Syaikh Shalih Al Fauzan di atas, jelaslah bahwa nasyid bukanlah ajaran Islam dan tidak boleh dinisbatkan kepada Islam. Seandainya nasyid merupakan bagian dari Islam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat tentu akan berlomba-lomba mengamalkannya. Akan tetapi, adakah atsar yang menceritakan bahwa mereka radhiyallahu ‘anhum mendendangkan nasyid?

Syubhat yang biasanya datang dari orang-orang yang menggemari “musik Islami” (nasyid) adalah mereka berdalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah dibacakan syair-syair di hadapan beliau dan beliau mendengarkannya, bahkan beliau pernah meminta shahabat untuk membacakannya.

Jawaban untuk permasalahan ini adalah bahwa syair-syair yang dibacakan di hadapan Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam tidaklah dilantunkan dalam bentuk paduan nada/suara dengan lirik lagu, tetapi itu hanyalah sekadar bait-bait syair Arab yang berisi kata-kata bijak dan tamsil, penggambaran sifat keberanian dan kedermawanan.

Para shahabat pada saat itu melantunkan syair saat melakukan pekerjaan yang berat, seperti ketika sedang membangun, berada di medan perang, atau melakukan perjalanan yang jauh (dengan tidak disertai alunan musik). Hal ini menunjukkan bolehnya melantunkan jenis syair ini dan dalam kondisi-kondisi khusus semacam itu. Tidak seperti zaman sekarang, di mana nasyid didendangkan setiap saat, bahkan nasyid dijadikan sebagai mata pencaharian. Wal iyyaa dzu billaah.

Berikut ini kami nukilkan fatwa dari Al ‘Allamah Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri,

“Sesungguhnya sebagian nasyid yang banyak dilantunkan para pelajar di berbagai acara dan tempat pada musim panas, yang mereka namakan dengan nasyid-nasyid Islami, bukanlah ajaran Islam. Sebab, hal itu telah dicampuri dengan nyanyian, melodi, dan membuat girang yang membangkitkan (gairah) para pelantun nasyid dan pendengarnya. Juga mendorong mereka untuk bergoyang serta memalingkan mereka dari dzikrullah, bacaan Al Qur’an, mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengingat apa-apa yang disebut di dalamnya berupa janji, ancaman, berita para nabi dan umat-umat mereka, serta hal-hal lain yang bermanfaat bagi orang yang mentadabburinya dengan sebenar-benar tadabbur, mengamalkan kandungannya, dan menjauhi larangan-larangan yang disebutkan di dalamnya, dengan mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala, dari ilmu dan amalannya.”

“Barangsiapa megqiyaskan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian, dengan syair-syair para shahabat radhiyallahu ‘anhum tatkala mereka membangun Masjid Nabawi, menggali parit Khandaq, atau mengqiyaskan dengan syair perjalanan yang biasa diucapkan para shahabat atau untuk memberi semangat kepada untanya di waktu bepergian, maka ini adalah qiyas yang batil. Sebab para shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah bernyanyi dengan syair-syair tersebut dan menggunakan lantunan-lantunan yang membuat girang…”

Bagaimana Nasyid Menjadi Bid’ah?

Sebagaimana telah dijelaskan pada artikel yang telah lalu, bahwa bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Maka, penamaan nasyid Islami adalah perkara baru yang diada-adakan (muhdats) dan tidak ada contoh dari Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan amalan yang tidak ada contohnya dari Nabi, maka amalan itu tertolak.

Tidak ada satupun riwayat yang shahih yang menyebutkan tentang pensyari’atan nasyid atau penggolongan nasyid sebagai bagian dari agama. Adapun menjadikan nyanyian dan musik sebagai bagian dari agama adalah pemahaman yang dimiliki oleh kaum sufi, sebagaimana telah diterangkan di atas. Selain itu, beribadah dengan menyanyikan sya’ir adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Dan kaum Nashara pun menjadikan nyanyian sebagai bentuk dzikir dan do’a mereka.

Para Nabi ‘alaihimush sholatu wa sallam dan para Shahabat radhiyallahu ‘anhum serta para Salafush Shalih tidak pernah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan menggunakan nasyid-nasyid Islami seperti yang ada pada zaman sekarang. Adapun sya’ir-sya’ir yang mereka lantunkan pada waktu-waktu tertentu dimaksudkan sebagai pengobar semangat ketika bekerja atau berperang, dan mereka tidak berlebihan dalam hal ini dan tidak pula menjadikannya sebagai kebiasaan.

Nasyid juga bukan merupakan metode dakwah yang pernah dilakukan oleh para Nabi ‘alaihimush sholatu wa sallam, dan tidak pula para Shahabat radhiyallahu ‘anhum pernah melakukannya. Seandainya nasyid itu dikatakan sebagai metode dakwah, maka dengan begitu pelakunya telah mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempurna dalam menyampaikan risalah, karena beliau belum mengabarkan tentang berdakwah dengan nasyid.

Sementara Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (Qs. Al-Maaidah: 3)

Ayat di atas sebagai penjelas bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan keseluruhan risalah yang disampaikan oleh Rabbnya melalui perantara Malaikat Jibril ‘alaihis salam. Maka, apa-apa yang tidak termasuk syari’at pada hari itu, dia tidak akan menjadi syari’at pada hari ini dan hari-hari berikutnya. Dan pada hari itu, Allah dan Rasul-Nya tidak memasukkan nasyid sebagai syari’at Islam, maka apakah nasyid dapat menjadi syari’at pada hari ini..?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Bid’ah lebih disukai oleh iblis daripada maksiat, oleh karena itu orang-orang yang menghadiri permainan atau sesuatu yang melalaikan, dia (sendiri) tidak menganggapnya (perbuatannya tersebut) sebagai amalan shalihnya dan tidak mengharapkan pahala dengannya (maka itulah maksiat). Akan tetapi barangsiapa yang melakukannya dengan dasar (keyakinan) bahwasanya itu adalah suatu jalan (untuk bertaqarrub) kepada Allah, maka dia akan menjadikannya sebagai agama. Jika dilarang darinya, maka dia akan seperti orang yang dilarang dari agamanya dan memandang bahwa sungguh dia telah terputus (hubungannya) dari Allah, dan telah diharamkan bagiannya (pahalanya) dari Allah ta’ala jika dia tinggalkan.

Tidak ada seorang pun dari para imam kaum muslimin yang mengatakan bahwa menjadikan hal ini (nasyid-nasyid Islam atau nasyid sufi) sebagai agama, jalan mendekatkan diri kepada Allah adalah suatu hal yang mubah. Bahkan, barangsiapa yang menjadikan hal ini sebagai agama dan jalan menuju kepada Allah ta’ala maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan, orang yang menyelisihi ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.”

Perkara Buruk Akibat Nasyid Islami

“Sesungguhnya penamaan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan nyanyian sebagai nasyid Islami, menyebabkan timbulnya perkara-perkara jelek dan berbahaya. Di antaranya:

Menjadikan bid’ah ini sebagai bagian ajaran Islam dan penyempurnanya. Ini mengandung unsur penambahan terhadap syari’at Islam, sekaligus pernyataan bahwa syari’at Islam belum sempurna di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini bertentangan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ

“Pada hari ni telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” (Qs. Al Ma’idah: 3)

Ayat yang mulia ini merupakan dalil yang menunjukkan kesempurnaan agama Islam bagi umat ini. Sehingga pernyataan bahwa nasyid yang berlirik (lagu) tersebut sebagai Islami, mengandung unsur penentangan terhadap dalil ini, dengan menyandarkan nasyid-nasyid yang bukan dari ajaran Islam kepada Islam dan menjadikannya sebagai bagian darinya.

Menisbahkan kekurangan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan dan menjelaskan kepada umatnya. Di mana beliau tidak menganjurkan mereka melantunkan nasyid secara berjama’ah (baca: koor) dengan lirik lagu. Tidak pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada mereka bahwa itu adalah nasyid Islami.
Menisbahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bahwa mereka telah menelantarkan salah satu ajaran Islam dan tidak mengamalkannya.
Menganggap baik bid’ah nasyid yang dilantunkan dengan irama nyanyian, dan memasukkannya sebagai ajaran Islam.


Palingkan Lisan dan Pendengaranmu dari Sesuatu yang Sia-sia Itu

Sungguh banyak kita jumpai orang-orang yang hafal berpuluh-puluh lagu dan nasyid, bahkan mungkin lebih dari itu. Akan tetapi, sayangnya, hafalannya terhadap Al Qur’an sangatlah sedikit. Untuk menghafal Al Qur’an, dia bermalas-malasan dan beralasan tidak punya kesempatan untuk itu karena terlalu banyak kegiatan. Padahal, sering setiap harinya dia gunakan waktunya untuk mendengarkan musik atau nasyid.

Terkadang mereka beralasan bahwa mereka mendengarkan nasyid untuk menghibur dan menenangkan hatinya serta menghilangkan stress. Jika pikiran mereka sedang kalut, gundah, atau sedang futur dalam iman, maka mereka mendengarkan nasyid sebagai hiburan dan membangkitkan keimanannya. Padahal, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ

“Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) yang dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al Ankabut: 51)

Syaikh Ibnu Sa’diy menjelaskan tafsir ayat ini, “Semua itu sudah cukup bagi orang yang menginginkan kebenaran dan berbuat untuk mencari kebenaran. Namun Allah tidak mencukupkan bagi orang yang tidak merasa mendapatkan kesembuhan dengan Al Qur’an. Siapa yang merasa cukup dengan Al Qur’an dan menjadikannya sebagai petunjuk, maka dia mendapatkan rahmat dan kebaikan. Karena itulah Allah berfirman (yang artinya) ‘Sesungguhnya dalam (Al Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman’. Pasalnya, di dalam Al Qur’an bisa didapatkan ilmu yang banyak, kebaikan yang melimpah, pensucian bagi hati dan ruh, membersikan aqidah dan menyempurnakan akhlak, di dalamnya terkandung pintu-pintu Ilahi dan rahasia-rahasia Robbani.”

Saudariku, daripada engkau melenakan dirimu dengan nasyid, sungguh jauh lebih baik jika kau sibukkan dirimu untuk membaca Al Qur’an, mentadabburinya, dan menghafalnya. Coba engkau bandingkan antara Al Qur’an dengan nasyid yang kau sukai, apakah kau mendapatkan ilmu yang banyak, kebaikan yang melimpah, serta pensucian hati dan ruhmu dari nasyid? Renungkanlah, apa yang engkau peroleh dari setiap huruf nasyid jika dibandingkan dengan Al Qur’an yang mana kau bisa mendapatkan sepuluh kebaikan dari setiap hurufnya. Maka sungguh merupakan suatu kerugian dan kebodohan jika engkau berpaling dari Al Qur’an dan menyibukkan diri dengan nasyid.

Saudariku, semoga Allah melembutkan hatimu sehingga engkau bisa menerima penjelasan di atas. Maka, tinggalkanlah sesuatu yang sia-sia itu, sekarang juga. Daripada kau buang-buang waktumu untuk mendengarkan nyanyian, lebih baik kau gunakan untuk belajar ilmu syar’i, menghafal Al Qur’an dan hadits, basahi lisanmu dengan dzikir kepada-Nya. Cukuplah hadits berikut ini sebagai hujjah untukmu, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara sebagian dari kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi)

Dengan demikian saudariku, dapat kita simpulkan bahwa nasyid tidaklah mendatangkan manfaat bagi kita kecuali hanya sedikit (terbatas pada nasyid yang dibolehkan). Islam tidak pernah mensyari’atkan nasyid, akan tetapi Islam mensyari’atkan untuk berdzikir kepada Allah, mentadabburi al-Qur’an dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Dan sesungguhnya berdzikir yang paling afdhal adalah dengan membaca al-Qur’an, sebagaimana telah disebutkan dalam firman-Nya,

“Dan Kami turunkan al-Qur’an yang merupakan obat penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Israa’: 82)

Wallahu Ta’ala a’lam bish showab.

Penulis: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly dan Ummu Ismail Noviyani Maulida
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

1 komentar: